Sejarah Angklung


 
Photo ini diambil awal abad 20 dimana sekelompok anak Sunda sedang  memainkan angklung

Angklung adalah alat musik yang terbuat dari ruas-ruas bambu, cara memainkannya digoyangkan serta digetarkan oleh tangan, alat musik ini telah lama dikenal di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sejarah Angklung sangat erat kaitannya dengan seni karawitan sebagai media upacara penghubung antara manusia dan Tuhannya, Yang Maha Kuasa.
Bukti tertulis penggunaan Angklung tertua yang ditemukan terdapat pada prasasti Cibadak bertahun 952 Saka atau 1031 SM, di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada prasasti tersebut, diterangkan bahwa Raja Sunda, Sri Jayabuphati, menggunakan seni Angklung dalam upacara keagamaannya. Kita juga dapat menemukan bukti lain dalam buku Nagara Kartagama tahun 1359, yang menerangkan penggunaan Angklung sebagai media hiburan dalam pesta penyambutan kerajaan. Kata Angklung diambil dari cara alat musik tersebut dimainkan. Kata Angklung berasal dari Bahasa Sunda “angkleung-angkleungan” yaitu gerakan pemain Angklung dan suara “klung” yang dihasilkannya. Secara etimologis , Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa Kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Phocay sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Si Oyong-oyong
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh
Diperkirakan angklung lahir pada masa keemasan kerajaan Sunda. Tradisi bermain angklung paling kuno ditemukan pada masyarakat Baduy. Kabuyutan Baduy sendiri tercatat didirikan raja Sunda waktu itu bernama Prabu Darmasiksa (1175-1297). Kabuyutan dimaknai sebagai langkah visioner prabu Darmasiksa untuk menjaga warisan leluhur, khususnya karuhun Sunda. Visinya berhasil. Kita masih dapat melihat kehidupan Sunda kuno dengan memasuki kawasan Sunda itu  di Banten sekarang. Apa jadinya identitas Sunda tanpa rujukan identitas yang jelas, bukan?
Dari sana juga dapat disimpulkan orang Sunda ini memang masyarakat agraris. Mereka masyarakat agraris yang menjaga harmoni dengan alam. Bahkan untuk ritual menanam padi pun mereka melengkapinya dengan bunyi bunyian alam. Ya, angklung ini lah yang mengeluarkan bunyi bunyian alam. Alam dihormati sebagai bagian dari kehidupan yang tidak boleh dirusak. Bukan saja tidak boleh dirusak, ia perlu dimuliakan dengan bunyi bunyian pula.
Maka tidak mengherankan kalau di hampir seluruh kawasan Sunda kita menemukan tradisi angklung :
 
  1. Angklung Kanekes, kawasan Baduy, Banten. Angklung dipergunakan sebagai bagian dari ritual menanam padi. Diturunkan dan tradisinya dijaga ketat. Peraturan yang keras kapan angklung boleh dimainkan.
  2. Angklung Dogdog Lojor, komunitas gunung Halimun ( Bogor, Sukabumi, Lebak ). Komunitas ini merupakan sisa laskar Pajajaran terakhir dibawah raja terakhir Pajajaran, Suryakancana. Angklung selain sebagai bagian dari ritual pertanian, juga sebagai penjaga ritme saat berperang.
  3. Angklung Gubrag, Cipining, Cigudeg, Bogor. Angklung yang dikembangkan komunitas kecil sebuah kampung.
  4. Angklung Badeng, Malangbong, Garut. Tetap mewarnai ritual menanam padi. Namun nuansa Islamisasi sangat kuat terlihat disini.
Bila melihat pola di atas, memang tak dapat dipungkiri bahwa angklung memiliki kaitan panjang dengan sejarah panjang kerajaan Sunda sendiri.
Ketika masyarakat Sunda perlahan lahan menjadi masyarakat metropolis, angklung pun berubah menjadi Instrumen modern dengan fungsi entertainmen. Disini muncul tokoh Daeng Soetigna, dan kemudian Udji Ngalagena. Kita mengenal Saung Angklung Udjo di tengah keramaian kota Bandung sekarang. Bukan di desa desa dengan padi menguning nan sepi.

 sumber